Keberagamanbudaya menjadi identitas yang berharga untuk bangsa Indonesia. Sebab, budaya mengandung ciri khas unik dan nilai-nilai penting dari berbagai wilayah. Tak hanya itu, keragaman budaya juga mampu memelihara kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat harus terus menghargai dan melestarikan budaya bangsa. Sehinggaia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. c) Bangsa Turki banyak mengambil kebudayaan dari berbagai ajaran etika dan politik dari bangsa Persia. yaitu Al-Manshur (754-755 M) pada tahun 762 M. Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan para ahli bangunan Beberapahasil kebudayaannya meliputi bidang kesenian, ilmu pengetahuan, olah raga, tata kota, pemerintahan, militer, ekonomi, dan kepercayaan atau agama. Hasil - hasil kesenian Bangsa Romawi Kuno meliputi Seni Bangunan, Seni Sastra, dan Seni Patung. 1. Seni Bangunan. a. Membangun kota Roma dengan gedung – gedung yang berdinding berlapis Dịch VỄ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. Filsafat Kebudayaan Kebudayaan menjadi salah satu tema menarik dalam diskursus filsafat apabila direlevansikan terhadap perkembangan zaman yang dinamis. Istilah kebudayaan yang awalnya hanya dikaitkan dengan aktivitas kesenian dan seremonial sebagai artefak masyarakat, ternyata memiliki pembahasan yang lebih esensial dalam filsafat. Dalam diskursus filsafat, esensi kebudayaan diupayakan untuk diinternalisasi melalui berbagai macam fenomena budaya. Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat merupakan salah satu fenomena budaya yang seringkali mendapatkan perhatian dari berbagai ahli budaya dan filsafat, salah satunya adalah To Thi Anh. To Thi Anh merupakan seorang oksidentalis asal Vietnam yang telah menimba ilmu pada salah satu perguruan tinggi di Perancis. Dalam studinya, To Thi Anh sangat tertarik meneliti hubungan antara budaya barat dan timur, terutama dialektika budaya yang terjadi di antaranya. Dalam penelitian selama di Perancis, To Thi Anh telah mengidentifikasi pandangan dasar budaya timur yang dipengaruhi oleh paham Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Sedangkan dasar budaya barat yang banyak dipengaruhi oleh semangat renaisans. Momen Renaisans menjadi titik balik bagi masyarakat Barat untuk mengutamakan kemampuan akal logika dan metode-metode empiris dalam memahami realitas To Thi Anh, 1984. Meskipun telah diungkapkan mengenai masing-masing karakteristik antara budaya barat dan timur dalam pengertian To Thi Anh, namun dalam diskursus filsafat kebudayaan pernyataan tersebut tidak diterima secara dogmatis sebagai sesuatu yang pasti benar. Sebab pada realitasnya karakteristik budaya timur yang dikemukakan oleh To Thi Anh tidak selalu sama persis dengan budaya masyarakat timur secara lebih spesifik. Pada kebudayaan Indonesia, misalnya, secara spesifik adat istiadat dan tradisi masyarakat Indonesia tidak identik dengan kebudayan di Tiongkok atau Jepang. Bahkan dalam kebudayaan Indonesia secara spesifik juga memiliki banyak keanekaragaman budaya dan tradisi hampir di seluruh wilayahnya. Namun perlu diketahui bahwa pernyataan To Thi Anh juga tidak sepenuhnya salah, sebab secara umum antara budaya timur dan budaya Indonesia tetap memiliki kesamaan pada nilai-nilai universal, Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Fenomena Kebudayaan Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat hingga persoalan kebudayaan masyarakat pasca kolonial dan modern Bennartho Denys Rapoho 17/414228/FI/04387 Filsafat Kebudayaan Kebudayaan menjadi salah satu tema menarik dalam diskursus filsafat apabila direlevansikan terhadap perkembangan zaman yang dinamis. Istilah kebudayaan yang awalnya hanya dikaitkan dengan aktivitas kesenian dan seremonial sebagai artefak masyarakat, ternyata memiliki pembahasan yang lebih esensial dalam filsafat. Dalam diskursus filsafat, esensi kebudayaan diupayakan untuk diinternalisasi melalui berbagai macam fenomena budaya. Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat merupakan salah satu fenomena budaya yang seringkali mendapatkan perhatian dari berbagai ahli budaya dan filsafat, salah satunya adalah To Thi Anh. To Thi Anh merupakan seorang oksidentalis asal Vietnam yang telah menimba ilmu pada salah satu perguruan tinggi di Perancis. Dalam studinya, To Thi Anh sangat tertarik meneliti hubungan antara budaya barat dan timur, terutama dialektika budaya yang terjadi di antaranya. Dalam penelitian selama di Perancis, To Thi Anh telah mengidentifikasi pandangan dasar budaya timur yang dipengaruhi oleh paham Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Sedangkan dasar budaya barat yang banyak dipengaruhi oleh semangat renaisans. Momen Renaisans menjadi titik balik bagi masyarakat Barat untuk mengutamakan kemampuan akal logika dan metode-metode empiris dalam memahami realitas To Thi Anh, 1984. Meskipun telah diungkapkan mengenai masing-masing karakteristik antara budaya barat dan timur dalam pengertian To Thi Anh, namun dalam diskursus filsafat kebudayaan pernyataan tersebut tidak diterima secara dogmatis sebagai sesuatu yang pasti benar. Sebab pada realitasnya karakteristik budaya timur yang dikemukakan oleh To Thi Anh tidak selalu sama persis dengan budaya masyarakat timur secara lebih spesifik. Pada kebudayaan Indonesia, misalnya, secara spesifik adat istiadat dan tradisi masyarakat Indonesia tidak identik dengan kebudayan di Tiongkok atau Jepang. Bahkan dalam kebudayaan Indonesia secara spesifik juga memiliki banyak keanekaragaman budaya dan tradisi hampir di seluruh wilayahnya. Namun perlu diketahui bahwa pernyataan To Thi Anh juga tidak sepenuhnya salah, sebab secara umum antara budaya timur dan budaya Indonesia tetap memiliki kesamaan pada nilai-nilai universal yang selama ini diutamakan seperti aspek intuitif dan kolektifitas sosial. Adanya perbedaan budaya pada masyarakat timur secara spesifik juga sesungguhnya merupakan pengaruh aspek kewilayahannya masing-masing. Tesis kewilayahan ini juga dapat menjadi bukti sebab adanya perbedaan budaya barat dan timur. Substansi budaya barat menurut To Thi Anh merupakan kultus persona sedangkan substansi budaya timur merupakan kultus harmoni. Kultus persona merupakan karakteristik budaya barat yang lebih mengutamakan kebebasan individu dan kreatifitas individu. Dalam pandangan budaya barat manusia merupakan makhluk murni yang memiliki keunikan dan tidak dapat digeneralisasikan. Dengan asumsi ini maka individualitas menjadi semangat penting terutama untuk memunculkan ke‟aku‟an yang autentik. Berbeda dengan budaya barat, budaya timur justru kultus harmoni mengutamakan aspek kolektivitas sebagai jati diri yang diperlukan oleh manusia. Sebab dalam pandangan budaya timur manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan pernah dapat terlepas dari tradisi atau kekerabatannya dengan manusia lain. Sehingga aspek kolektivitas menjadi sangat penting bagi perspektif budaya timur dalam menyikapi esensi dari kehidupan manusia To Thi Anh, 1984. Perbedaan paradigma budaya yang terjadi―barat dan timur―sesungguhnya muncul sebagai proses belajar masyarakat budaya terhadap realitas di sekitarnya. Dalam pertemuan antara budaya timur dan budaya barat, misalnya, aspek pedagogis sangat signifikan menjadi kunci dialektika di antara kedua budaya tersebut. Meskipun kedua budaya besar ini memiliki karakteristiknya yang unik seperti diungkapkan oleh To Thi Anh dalam karya berjudul “Nilai Budaya Timur dan Barat Konflik atau Harmoni”, namun hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi dialektika yang terjadi di antara keduanya. Dengan menyadari perbedaan paradigma budaya barat dan timur, sesungguhnya terdapat unsur pedagogis yang dapat diinternalisasikan melalui proses dialektika budaya. Proses dialektika menurut To Thi Anh juga menjadi suatu ciri khas kebudayaan yang niscaya terjadi dalam memahami perbedaan corak kebudayaan barat dan timur. Menurutnya perbedaan karakteristik budaya tersebut bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan untuk menjadi ancaman atau bahkan konflik. Selain itu, menurut To Thi Anh kedua budaya besar ini seharusnya perlu saling mempelajari perbedaan di antaranya terutama untuk mengisi kekurangan aspek yang ada pada masing-masing kebudayaan. To Thi Anh juga mengibaratkan budaya barat dan timur bagaikan simbol “yin-yang” dengan makna harmonisasi budaya. Dalam pengertian ini, To Thi Anh berupaya mempertemukan budaya barat dan budaya timur sebagai suatu harmoni antara aspek individu dan sosial yang saling memiliki signifikansi To Thi Anh, 1984. Dialektika budaya sebagai proses pembelajaran bagi Bangsa Indonesia juga merupakan fenomena budaya yang penting untuk dipelajari. Masih terkait dengan pertemuan budaya Timur dan Barat, beberapa tokoh budaya nasional juga telah memiliki diskursus perihal wacana ini. Kongres Pendidikan Nasional di Solo pada tanggal 8-10 Juni 1935 menjadi salah satu bukti kepedulian intelektual Bangsa Indonesia terhadap perkembangan budaya dan pendidikan khususnya dalam menentukan sikap terhadap kehidupan modern. Perkembangan zaman menuju era modern memang telah disadari menimbulkan semacam polemik kebudayaan yang perlu untuk disikapi secara bijaksana agar Bangsa Indonesia dapat mempertahankan eksistensi kebudayaannya. Dalam buku Polemik Budaya karya Achdiat K. Mihardja setidaknya telah dikemukakan 3 tiga polemik kebudayaan Indonesia yaitu masyarakat serta kebudayaan baru, pendidikan Nasional, dan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia Mihardja, 1986. Ketiga polemik ini sesungguhnya juga muncul sebagai konsekuensi kesadaran terhadap pencarian makna ”Indonesia” yang dapat mempersatukan Bangsa Indonesia Claudia, 2017. Berbagai spekulasi dari para ahli budaya kemudian muncul sebagai jawaban terhadap persoalan tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” telah membagi sejarah Bangsa Indonesia ke dalam dua bagian yaitu pra-Indonesia atau tepatnya hingga akhir abad 19, dan zaman Indonesia yang dimulai sejak awal abad 20. Dalam pengertian Sutan Takdir Alisjahbana, semangat keindonesiaan terlahir setelah abad ke 20 atau lebih tepatnya ketika Bangsa Indonesia “sudah belajar‟ dari Peradaban Barat mengenai keberagaman budaya serta pengelolaannya. Sedangkan sebelum periode tersebut semangat keindonesiaan belum sepenuhnya terlahir sebab semangat yang ada masih bersifat “kewilayahan”. Berbeda dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane justru menunjukkan sejarah masa lalu sebagai konstruksi keadaan saat ini sehingga tidak ada batas sejarah seperti yang diasumsikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Sanusi Pane pemikiran sejarah Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan bahwa Bangsa Indonesia telah belajar dari barat justru tidak tepat sebab peradaban barat memiliki corak materialis dan individualis jelas berbeda dengan peradaban timur. Merespon kritik Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa adanya periodesasi sejarah justru mengekplisitkan adanya suatu proses kebudayaan yang baru. Proses belajar dari ide-ide barat juga dilakukan sebagai proses belajar masyarakat timur terkait kedinamisan kebudayaan barat. Sutan Takdir Alisjahbana juga tidak menyetujui pendapat Sanusi Pane terkait stigma masyarakat Barat yang bersifat materialis dan individualis tanpa mengenal unsur rohani intuitif dan kolektif. Hanya saja menurut Sutan Takdir Alisjahbana perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan kompetensi yang lebih dominan di setiap kebudayaannya sehingga sekilas stigma tersebut seolah benar. Orientasi budaya yang terlalu mengarah pada satu sisi, misalnya masa depan seperti yang diasumsikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tidaklah tepat menurut Purbatjaraka. Penegasian ini terjadi karena tidaklah cukup suatu masyarakat hanya berorientasi pada masa depan saja tanpa melihat masa lampau. Sehingga menurut Purbatjaraka perlu adanya keseimbangan di antara kedua orientasi temporal tersebut. Pada Kongres Pendidikan Nasional di Solo pada tanggal 8-10 Juni 1935 diskursus kebudayaan nasional ini berlanjut dalam aspek pendidikan yang sangat erat dengan perkembangan budaya. Masih dengan tesis yang sama Sutan Takdir Alisjahbana kembali menyumbangkan pemikirannya terhadap rencana pendidikan nasional. Salah satu tokoh bernama R Sutomo juga menekankan bahwa seharusnya bangsa Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek kognitif saja namun juga perlu mengedepankan ke‟aku‟an yang selama ini belum banyak dimiliki. Ke‟aku‟an disini memiliki makna untuk berproses menjadi “manusia Indonesia‟ yang selain memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan afektif. Tjindarbumi juga mengakui masih adanya kekurangan dalam memandang pendidikan nasional terutama aspek falsafahnya. Tjindarbumi menjelaskan bahwa memang bangsa Timur masih tergolong “kalah‟ dalam beberapa aspek dari bangsa Barat, namun perlu diketahui bahwa bangsa Timur juga tidak kalah dalam hal pengetahuan intuitif dan kolektif yang bahkan selama ini bangsa Barat telah banyak mengadopsi hal tersebut dari bangsa Timur. Tjindarbumi juga menyakini bahwa pendidikan nasional seharusnya mau belajar dari budaya Barat namun juga perlu selektif. Selain itu menurut Adinegoro, bangsa Indonesia juga perlu mengejar beberapa aspek yang sudah terlampaui oleh bangsa Barat. Dr. Amir juga menambahkan perlunya keseimbangan berpikir kritis terhadap rencana kemajuan Bangsa Indonesia. Dalam Kongres Pendidikan Nasional ini Ki Hajar Dewantara juga terlibat dalam menyumbangkan buah pemikirannya mengenai pendidikan melalui tulisannya yang berjudul ”Pembaharuan Adab, Opedragen Kepada Tuan-Tuan S. T. A, dr. Soetomo, dan Sns. Pane”. Dalam tulisan tersebut, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa manusia tidak dapat lepas dari pengaruh alam tempat tinggalnnya. Ki Hajar Dewantara juga menyatakan bahwa perdebatan yang berlangsung diantara ketiga intelektual dalam kongres tersebut adalah perdebatan yang sehat. Sebab perdebatan tersebut berlangsung dengan kejujuran dan kesucian Anggoro, 2011. Peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia kemudian menjadi topik berikutnya. Dalam karya Sutan Takdir Alisjahbana yang berjudul “Pekerjaan Pembangunan Bangsa sebagai Pekerjaan Pendidikan” menjelaskan bahwa jiwa bangsa dapat diselidiki ke masa lalu, namun terkait arah pergerakan berikutnya tidak dapat diketahui karena sudah memasuki ranah idealis. Dr. Amir juga menekankan kembali terhadap suatu autentisitas budaya, sebab tanpa mengedepankan kreatifitas dalam pembangunan suatu bangsa maka tidak ada hal menarik yang dapat dipelajari. Dalam karya yang berjudul “Jiwa dan Penjelmaan, Isi dan Bentuk” Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa jiwa suatu bangsa memungkinkan penegasian terhadap perkembangannya seperti seorang anak juga dapat memiliki jiwa yang berbeda dengan orang tuanya. Selain itu tahap perubahan bukanlah sesuatu yang perlu diresahkan justru merupakan suatu proses kemajuan suatu bangsa, misalnya pada peristiwa renaisance. Sutan Takdir Alisjahbana juga menjelaskan kembali bahwa keinginan jiwa suatu bangsa terhadap perubahan akan memicu transformasi bentuk baru yang lebih baik daripada sebelumnya. Transformasi budaya menjadi bentuk yang baru sesungguhnya dapat dipahami melalui teori disrupsi. Istilah disrupsi merupakan salah satu yang populer dewasa ini. Disrupsi berarti merusak atau memberikan gangguan terhadap sistem mapan yang dianggap telah korup atau kurang relevan dengan perkembangan zaman Kasali, 2017. Clayton juga telah menulis kajian tentang disrupsi dalam bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma 1997 yang kemudian setelah itu terbitlah karya Francis Fukuyama yang berjudul The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order 1999. Apabila Christensen melihat disrupsi sebagai peluang terhadap inovasi, Francis Fukuyama justru secara sentral membahas disrupsi dalam perspektif sosial budaya yang dikaitkan dengan kehidupan di abad ke-20. Disrupsi menurut Francis Fukuyama yaitu gangguan atau kekacauan. Fukuyama mengartikan disrupsi dalam arti leksikal. Dalam pandangannya mengenai perubahan pola perilaku masyarakat abad ke-20, Fukuyama telah menjelaskan beberapa keunggulan akibat adanya kemajuan teknologi informasi. Fukuyama juga menegaskan bahwa kekuatan informasi yang melekat pada masyarakat modern membuat kesadaran terhadap nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan dan kesetaraan semakin menguat. Kemajuan teknologi informasi memang telah berhasil membawa berbagai manfaat positif bagi masyarakat seperti meningkatkan kesejahteraan, demokrasi, kesadaran akan hak asasi dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Model masyarakat yang seperti ini disebut oleh Fukuyama sebagai “masyarakat informasi‟ information society. Meskipun memiliki banyak manfaat dalam perkembangan manusia modern abad ke-20, adanya disrupsi dalam tata sosial juga menyebabkan memburuknya kualitas sosial. Kejahatan dan ketidakteraturan menciptakan kecemasan publik sehingga kenyamanan sudah menjadi barang mahal. Dalam masyarakat informasi information society juga menimbulkan dampak pada institusi sosial terkecil yaitu keluarga Fukuyama, 1999. Dampak negatif disrupsi menurut Fukuyama harus dapat diatasi. Menurut Fukuyama, agar kita dapat menata tatanan sosial perlu difokuskan pada dua aspek yaitu kesadaran terhadap kodrat manusia kemanusiaan dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri. Aspek pertama merupakan sumber nilai, sedangkan aspek yang kedua merupakan wilayah operasional bagi modal sosial. Dengan kata lain menurut Fukuyama kemajuan teknologi informasi dan berbagai inovasi yang muncul harus selalu berefleksi pada kodrat manusia sebagai dasar penataan kehidupan sosial budaya Ohoitimur, 2018. Namun dalam sebuah review oleh Paul Gillen 1999 bahwa fakta-fakta sosial yang ditunjukkan oleh Fukuyama dalam “Great Disruption” belum tentu benar sebab kemungkinan ketidaktepatan data akibat hanya melihat fenomena sosial secara parsial Gillen, 1999. Namun dalam pandangan yang berbeda Fukuyama justru menekankan bahwa asumsinya mengenai lemahnya modal sosial dalam kehidupan masyarakat kapitalis bukan berdasarkan pada kelompok sukarelawanan namun harus diamati melalui struktur sosial paling dasar yaitu keluarga Leigh, 2000. Selain adanya disrupsi dalam proses transformasi budaya pada abad ke-20, Garcias Sansini pada tahun 1990 juga pertama kali mengenalkan istilah Hibridisasi. Hibridisasi menurut Sansini merupakan bentuk transformasikan kebudayaan ke bentuk lebih baru konstektualisasi bukan justru menghilangkan budaya yang telah ada. Dalam sejarahnya hibridisasi juga pernah digunakan sebagai proyek politik bagi penjajah untuk melegitimasi kekuasaan atau melawan kekuasaan penduduk pribumi. Hibridisasi juga bukan sekedar pencampuran budaya namun juga merupakan suatu kritik orientasi budaya, menuju bentuk orientasi baru dari suatu budaya. Orientasi budaya membentuk suatu ruang budaya baru ruang ketiga untuk persilangan sehingga membentuk prinsip yang lebih kompleks. Ruang ketiga ini merupakan suatu imajinerisasi prinsip budaya yang bertemu. Fenomena pertemuan budaya yang terjadi di dalam ruang ketiga sesungguhnya telah dijelaskan oleh Homi K. Bhabha dalam karyanya yang berjudul “The Location of Culture”. Dalam buku ini, Bhabha membahas berbagai macam fenomena budaya seperti kolonialisme, nasionalisme, historiografi, migran, modernitas bahkan postmodernitas dalam perspektif postkolonial. Perspektif postkolonial digunakan oleh Bhabha dalam rangka menjelaskan fenomena budaya kontemporer yang disertai dengan banyaknya migrasi sehingga terjadi pertemuan antar budaya. Menurut Bhabha pertemuan budaya tersebut lebih bersifat antagonis daripada kompromis atau dialogis. Fenomena migrasi, misalnya, awalnya bangsa Eropa yang datang ke Asia dan Afrika memiliki tujuan etis terhadap peradaban, namun justru membenarkan perbudakan dan dehumanisasi bahkan perang. Sedangkan pada masa kontemporer, migrasi tidak hanya berdasarkan faktor misi etis namun juga ekonomi, politik atau bahkan pengungsian. Dengan adanya perubahan fenomena budaya pada masa kontemporer, Bhabha memilih meninjau ulang perspektif yang dipakai untuk menganalisis fenomena budaya dengan menggunakan konsep mimikri. Konsep mimikri juga diperlukan dalam perbedaan budaya sebagai posisi ambivalen yang bersifat metomini. Dengan kata lain, dalam perbedaan budaya atau hibrididasi bisa saja masyarakat pribumi memiliki kulit luar seperti mimikri namun sejatinya masih terdapat identitas kultur aslinya Prasisko, 2016. Pentingnya identitas kultur dalam tranformasi budaya dapat diketahui setelah memahami proses hibridisasi. Setelah proses hibridisasi, pencarian terhadap eksistensi baru pun menjadi persoalan budaya berikutnya. Seringkali pencarian jati diri budaya ini justru terjebak dalam pemahaman palsu ketika hegemoni budaya muncul sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi. Pengaruh media iklan yang bersifat masif dan repetitif dapat merubah orientasi budaya pada masyarakat secara perlahan. Seperti yang pernah dijelaskan oleh Kluckhohn bahwa hiperrealitas budaya dapat mempengaruhi hakikat karya dari kebutuhan hidup menjadi pemuas nafsu libido. Selain itu muncul juga dampak ekstasi yaitu suatu keadaan mental yang mencapai puncak kesadaran semu dibandingkan dengan kesadaran normal. Menurut Jean Baudrillard, Hiperrealitas Budaya merupakan ketidakmampuan membedakan antara fantasi dengan realitas yang sesungguhnya. Pada dunia ini sesuatu yang semu seolah terasa menjadi nyata. Aspek kebudayaan menjadi kehilangan makna sebagai dampak dari hiperrealitas. Makna sudah tidak signifikan dalam keadaan ekstasi sosial. Hilangnya pondasi budaya mengakibatkan kebudayaan bergerak secara liar sehingga melewati batas-batas wajar. Kebudayaan kehilangan makna sebagai konsekuensi dari hiperrealitas terhadap persepsi budaya yang menjadikannya hanya sebagai simulasi. Kondisi ini disebut oleh Jean Baudrillard sebagai Simulakra. Simulakra berarti simulasi suatu proses dimana ada presentasi terhadap objek yang menggantikan objek sesungguhnya Baudrillard, 1994. Dengan keadaan hiperrealitas dan simulakra, eksistensi bahkan esensi kebudayaan juga menjadi terancam. Sebab tidak ada lagi budaya tradisional yang sesungguhnya dalam budaya modern karena dampak komersialisasi. Ketika seluruh aspek budaya hanya dianggap sebagai instrumen pasar sehingga esensi budaya telah tergeser dari batas wajarnya. Misalnya dalam budaya India yang seolah ditampilkan ke publik namun pada kenyataannya hanya digunakan sebagai objek pasar industri perfilman. Persoalan kebudayaan modern seharusnya disikapi sebagai tantangan. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam karyanya yang berjudul “Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan” bahwa esensi dari kebudayaan merupakan suatu proses belajar budi manusia terutama untuk mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya Koentjaraningrat, 1975. Saya pikir kesadaran terhadap persoalan kebudayaan juga merupakan hasil dari proses tersebut. Pengenalan diri dan lingkungan yang baik menurut saya merupakan suatu upaya untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Pembahasan mengenai orientasi budaya menjadi sesuatu yang sangat penting di tengah arus modern. Pertemuan antar budaya di seluruh dunia seharusnya memberikan kesempatan lebih baik untuk belajar mengenali diri sendiri dan lingkungan. Diskursus kebudayaan perlu untuk terus dibangun dalam memahami fenomena budaya yang dinamis. Perubahan dan perkembangan budaya saya pikir merupakan keniscayaan yang perlu disikapi secara terbuka dan kritis. Kreatifitas berpikir dalam mengenal diri sendiri dan lingkungan menjadi kunci dalam diskursus kebudayaan. Dalam memahami fenomena kebudayaan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini sesungguhnya memerlukan proses yang dimaknai sebagai interaksi budaya. Aspek sosial menjadi sangat penting dalam hal ini. Tidak terjalinya komunikasi budaya juga dapat mengancam diskursus kebudayaan yang selama ini dibangun. Perkembangan menuju zaman modern yang terciptanya masyarakat informasi sesungguhnya telah memberikan pemahaman baru terkait fenomena budaya. Hal ini juga sekaligus memberikan kewaspadaan terhadap segala macam penyimpangan budaya yang kemungkinan dapat terjadi. Namun menurut saya, pemahaman baru terhadap fenomena budaya hanya dapat dikenali apabila disikapi dengan pemahaman budaya yang benar. Jika esensi kebudayaan dipahami sebagai suatu proses belajar mengenali diri dan lingkungan, maka fenomena budaya dapat menjadi suatu akses terhadap pemahaman budaya yang baru. Selain itu, peran filsafat dalam diskursus kebudayaan menjadi sangat penting mengingat sikap kritis dan terbuka serta usaha untuk mengenali diri dan lingkungan juga merupakan salah satu faktor teleologis dalam filsafat. Sehingga dalam memahami fenomena budaya diperlukan suatu diskursus kebudayaan yang bersifat komprehensif dan filosofis. Referensi Anggoro, Flavianus Setyawan, 2011, Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan Polemik Kebudayaan 1935-1939, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Claudia, Zahra, 2017, Analisis Buku Polemik Kebudayaan, Universitas Indonesia, Depok. Clayton, M. Christensen, 1997, The Innovator‟s Dilemma When Technologies Cause Great Firms to Fail, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts. Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Profile Books, London. Gillen, Paul, 1999, Social Capital Disrupted?, Arena Magazine, Australia. Baudrillard, Jean, 1994, Simulacra and Simulation, translate by Sheila Glaser, University of Michigan Press, United Stated. Kasali, Rhenald, 2017, Disruption Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koentjaraningrat, 1975, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Leigh, Andrew, 2000, Review Francis Fukuyama, “The Great Disruption”, Australian Journal of Political Science, Australia. Mihardja, K Achdiat, 1986, Polemik Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta. Ohoitimur, Johanis, 2018, Disrupsi Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bagi Lembaga Pendidikan Tinggi, Jurnal Respon Atma Jaya, Jakarta. Prasisko, Yongki Gigih, 2016, Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, Brikolase. Dikutip dari sumber diakses pada 21 April 2020 Pukul WIB To Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this M. ChristensenAnalyzes how successful firms fail when confronted with technological and market changes, prescribing a list of rules for firms to follow as a solution. Precisely because of their adherence to good management principles, innovative, well-managed firms fail at the emergence of disruptive technologies - that is, innovations that disrupt the existing dominant technologies in the market. Unfortunately, it usually does not make sense to invest in disruptive technologies until after they have taken over the market. Thus, instead of exercising what are typically good managerial decisions, at the introduction of technical or market change it is very often the case that managers must make counterintuitive decisions not to listen to customers, to invest in lower-performance products that produce lower margins, and to pursue small markets. From analysis of the disk drive industry, a set of rules is devised - the principles of disruptive innovation - for managers to measure when traditional good management principles should be followed or rejected. According to the principles of disruptive innovation, a manager should plan to fail early, often, and inexpensively, developing disruptive technologies in small organizations operating within a niche market and with a relevant customer base. A case study in the electric-powered vehicles market illustrates how a manager can overcome the challenges of disruptive technologies using these principles of disruptive innovation. The mechanical excavator industry in the mid-twentieth century is also described, as an example in which most companies failed because they were unwilling to forego cable excavator technology for hydraulics machines. While there is no "right answer" or formula to use when reacting to unpredictable technological change, managers will be able to adapt as long as they realize that "good" managerial practices are only situationally appropriate. Though disruptive technologies are inherently high-risk, the more a firm invests in them, the more it learns about the emerging market and the changing needs of consumers, so that incremental advances may lead to industry-changing leaps. CJCZahra ClaudiaClaudia, Zahra, 2017, Analisis Buku Polemik Kebudayaan, Universitas Indonesia, Capital Disrupted?Paul GillenGillen, Paul, 1999, Social Capital Disrupted?, Arena Magazine, and Simulation, translate by Sheila GlaserJean BaudrillardBaudrillard, Jean, 1994, Simulacra and Simulation, translate by Sheila Glaser, University of Michigan Press, United Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka UtamaRhenald KasaliKasali, Rhenald, 2017, Disruption Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka Utama, 1975, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, LeighLeigh, Andrew, 2000, Review Francis Fukuyama, "The Great Disruption", Australian Journal of Political Science, Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, BrikolaseYongki PrasiskoGigihPrasisko, Yongki Gigih, 2016, Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, Brikolase. Dikutip dari sumber diakses pada 21 April 2020 Pukul WIBNilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkanAnh To ThiTo Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. NilaiJawabanSoal/Petunjuk ORIENTALIS Ahli kebudayaan bangsa timur ARAB Bangsa Di Timur Tengah ABAI Suku bangsa di Kalimantan Timur KANGEAN Suku bangsa di jawa timur ALOR Suku bangsa di Nusa Tenggara Timur TIDUNG Suku bangsa yang mendiami Kalimantan Timur TENGGER Suku bangsa di Provinsi Jawa Timur ETNOGRAF Ahli perbandingan adat-istiadat bangsa-bangsa; ahli etnografi SOA Suku bangsa di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur OSING Salah satu suku bangsa yang mendiami daerah Banyuwangi, Jawa Timur NGADA Salah satu suku bangsa di Nusa Tenggara Timur USING Salah satu suku bangsa di Banyuwangi, Jawa Timur MABA Suku bangsa yang mendiami daerah Kabupaten Halmahera Timur UNA Suku bangsa yang mendiami Pegunungan Jayawijaya sebelah timur, Papua KUI Suku bangsa yang mendiami Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur TOIANAS Suku bangsa yang mendiami wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur SEDOA Suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah bagian timur LURU Suku bangsa di sebelah timur Gunung Pendering, Kalimantan dan Serawak RONGGA Salah satu Suku bangsa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur KODI Salah satu suku bangsa di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur MOI Salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Salawati bagian timur dan di sekitar Kota Sorong ATONI Suku bangsa di Pulau Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur SAURI Suku bangsa yang tinggal di pesisir timur Teluk Cendrawasih, Papua EIPOMEK Salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Papua sebelah timur TEWA Salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur Peradaban – Konotasi Menurut Para Pakar, Teori, Molekul, Bentuk, Wujud, Suku cadang & Faktor – Buat pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai Kebudayaan yang dimana kerumahtanggaan peristiwa ini meliputi signifikansi menurut para ahli, teori, zarah, bentuk, wujud, komponen dan faktor, untuk lebih memahami dan mengerti simak ulasan dibawah ini. Pengertian Kebudayaan Budaya alias kebudayaan yang berasal dari bahasa Sanskerta adalah buddhayah yang yakni bentuk sah berusul buddhi budi ayau akal nan dapat diartikan yakni bagaikan kejadian-hal yang berkaitan dengan budi dan akal bulus khalayak. Intern bahasa luar Inggris kebudayaan juga disebut culture yang berasal pecah kata latin colere yaitu ki melatih maupun mengerjakan. Dapat juga diartikan bak godok lahan ataupun bertani. Kata culture terkadang diterjemahkan seumpama kultur merupakan dalam bahasa Indonesia. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama maka itu sebuah gerombolan bani adam dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini terbimbing berbunga banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, leluri, bahasa, perabot, pakaian, gedung dan juga karya seni. Bahasa seperti mana juga budaya merupakan penggalan lain terpisah dari diri orang itu seorang sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya dengan serupa itu dapat membuktikan bahwa kebudayaan itu dipelajari. Baca Pun Artikel yang Mungkin Terkait “Macam-Macam Agama” Internal Suatu Kebudayaan Budaya adalah suatu teoretis universal, yang bersifat mania, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan menutupi banyak kegiatan sosial makhluk. Berikut ini terdapat beberapa pengertian kebudayaan menurut para pakar, terdiri atas Sir Edward Burnet Tylor Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi embaran, kepercayaan, kesenian, hokum, moral, kebiasaan, dan lainnya yang diperoleh insan sebagai anggota umum. Melville J. Herkovits Peradaban misal suatu superorganic karena tamadun yang turun temurun tidak pernah akan ditinggalkan walaupun masyarkata senantiasa saling berganti. Koentjaraningrat Kebudayaan yakni keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka semangat bermasyarakat yang dijadikan peruntungan diri hamba allah dengan belajar. Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta manusia. Rasa membentangi vitalitas manusia membuat segala norma dan nilai kemasyarakatan yang teradat untuk mengatak masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas, misalnya keyakinan, ideology, kebatinan, kesenian Cipta meliputi kemampuan mental,kemampuan berfikir berpunca orang nan hidup bermasyarakat nan menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang substansial teorimurni, maupun nan telah disusun kerjakan diamalkan privat hidup bermasyarakat. Karya, masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan material culture yang diperlukan maka dari itu masyarakat bagi menguasai umbul-umbul sekitarnya agar kekuatannya serta hasilnya bisa diabadikan untuk keperluan masyarakat. Teori Peradaban Teori kebudayaan antara lain kebudayaan boleh dipelajari tamadun bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen album kehadiran manusia kebudayaan mempunyai struktur kebudayaan dapat dipecah-bermula ke dalam berbagai aspek kebudayaan bersifat dinamis peradaban memiliki variabel kultur ogok harmoni yang boleh dianalisis dengan metode ilmiah kebudayaan merupakan alat bagi seseorang individu lakukan mengatur keadaan totalnya dan menggunung arti kesan congah Baca Sekali lagi Artikel yang Barangkali Terkait 17 Pengertian Bangsa Menurut Para Ahli Terlengkap Anasir-Elemen Tamadun Kebudayan menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya insan dalam rangka hayat publik yang dijadikan milik diri manusia dengan berlatih. Kebudayaan umat manusia n kepunyaan anasir-unsur yang berkepribadian global. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap menyeluruh karena bisa ditemukan pada semua kultur bangsa-bangsa didunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan menyeluruh ialah Bahasa Merupakan suatu pengucapan nan sani n domestik zarah kebudayaan dan serampak menjadi perabot perantara nan utama bakal insan untuk melanjutkan ataupun mengadaptasikan tamadun. Bentuk bahasa ada dua merupakan bahasa oral dan bahasa catatan. Sistem Pengetahuan Sistem warta itu berkisar lega mualamat tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan ini meliputi ruang pengetahuan tentang alam selingkung dunia tumbuhan dan fauna, waktu, ruang dan kodrat sifat-rasam dan tingkah laku sesama manusia awak khalayak. Sistem Kemasyarakatan Ataupun Organisasi Sosial Organisasi sosial merupakan sekelompok masyarakat nan anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang menghampari komunitas, pertautan dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistem Peralatan Jiwa Dan Teknologi Teknologi merupakan kuantitas keseluruhan teknik nan dimiliki maka dari itu para anggota suatu mahajana nan meliputi kesuluruhan cara bertindak dan mengamalkan kerumahtanggaan hubungannya dengan penumpukan bahan-objek menta, pemrosesan bahan-bahan itu cak bagi dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan tak nan substansial benda material. Unsur teknologi yang paling menonjol merupakan kultur fisik nan meliputi alat-perangkat produksi senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, bekas bernaung dan perumahan serta alat-peranti transportasi. Sistem Indra penglihatan Pencaharian Arwah Sistem mata pencaharian hidup ialah segala persuasi manusia bikin mendapatkan barang dan jasa nan dibutuhkan. Sistem netra pencaharian nyawa maupun sistem ekonomi nan meliputi berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan perdagangan. Sistem Religi Pada sistem religi ini dapat diartikan sebagai sebuah sistem nan terpadu antara keyakinan dan praktek keimanan yang berhubungan dengan keadaan-keadaan steril dan tak tercapai maka dari itu akal busuk. Sistem religi nan membentangi sistem tangan kanan, sistem poin dan pandangan arwah, komunikasi keyakinan, seremoni keimanan. Kesenian Secara terlambat eksenian bisa diartikan ibarat hasrat sosok terhadap keindahan. Rajah keindahan nan beraneka perbuatan itu timbul dari permainan imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi bani adam. Secara garis besar kita bisa memeratakan rajah kesenian internal tiga garis osean merupakan seni rupa, seni suara dan seni tari. Baca Lagi Kata sandang nan Boleh jadi Terkait Pengertian Galengan Yuridis Pendidikan Susuk-Bentuk Kebudayaan Kebudayaan dibagi menjadi dua bentuk, yakni Peradaban Materi Kebudayaan materi terdiri atas benda-benda hasil karya dari suatu kultur yang menutupi segala apa sesuatu yang diciptakan dan digunakan makanya individu dan mempunyai bentuk yang dapat dilihat dan diraba yang memiliki angka lisan. Transendental Flat, rok, mobil, kapal, gedung, dan pesawat televisi. N domestik siaran roh bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak dapat dipisahkan berbunga wujud peradaban yang bukan. Sebagai contoh wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan aktivitas dan karya artefak basyar. Kebudayaan Non Materi Kultur non materi terdiri dari kata-kata nan dipergunakan sosok, hasil pemikiran pagar adat, keimanan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Norma-norma dan leluri. Model berbagai norma yang mengatur prilaku anak adam norma agama,norma hukum, norma kesopanan, dan norma adab. Wujud Kultur Apabila kita memperhatikan definisi peradaban menurut Koentjoroningrat, perwujudan budaya adalah Wujud kebudayaan misal suatu kompleks berpokok ide-ide, gagasan, kredit, norma-norma, dan peraturan. Wujud purwa yaitu wujud arketipe mulai sejak kultur,sifatnya niskala, tidak dapat diraba atau difoto. Isi ataupun substansinya adalah pengetahuan, nilai-nilai, etos, pandangan hidup, kepercayaan, keonaran dsb. Lokasinya ada didalam alam fikiran warga publik dimana tamadun tersebut hidup. Gagasan enggak berada izin satu dari yang enggak, melainkan selalu berkaitan menjadi system. Juru antropologi dan sosiologi menyapa dengan system budaya Cultural System dalam bahasa Indonesia disebut rasam, atau adat istiadat. Wujud tamadun sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat Wujud kedua dari kultur disebut bagaikan system sosial Social System. Wujudnya adalah berbagai tindakan berpola berpokok manusia, yaitu aktivitas makhluk nan silih berhubungan, berinteraksi serta beramah-tamah dengan lainnya dari tahun ke waktu yang menirukan pola tertentu yang bersendikan tata kelakuan atau pagar adat bersifat faktual dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Wujud tamadun ibarat benda-benda hasil karya manusia Wujud ke tigadari kebudayaan disebut kebudayaan tubuh, berupa keseluruhan hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua orang dalam awam. Sifatnya paling aktual, karena berupa benda-benda alias keadaan-hal yang dapat diraba, dilihat ataupun difoto,lengkap pabrik baja,menara, kain menggambar, trik gaun dll. Baca Pula Kata sandang yang Kali Tercalit Denotasi Sastra Menurut Para Juru Onderdil-Komponen Tamadun Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya mempunyai bilang zarah atau onderdil, menurut pandai antropologi Cateora, yaitu Kultur material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang faktual, konkret. Tercantum dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan berusul suatu penyelidikan arkeologi mangkuk lahan liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, kapal udara, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesinbudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat nan berupa, substansial. Termasuk dalam peradaban material ini yaitu temuan-temuan yang dihasilkan pecah suatu penggalian arkeologi mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan lebih lanjut. Kebudayaan material pula mencakup barang-barang, begitu juga televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin basuh. Kebudayaan nonmaterial Kebudayaan nonmaterial merupakan ciptaan-ciptaan model yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa khayalan, cerita rakyat, dan lagu atau joget tradisional. Lembaga social, dan pendidikan memberikan peran yang banyak kerumahtanggaan kontek berhubungan, dan berkomunikasi di alam publik. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi asal, dan konsep yang berlaku sreg tatanan social masyarakat. Ideal Di Indonesia pada kota, dan desa dibeberapa provinsi, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja sreg satu instansi atau perusahaan. Belaka di kota – kota besar kejadian tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik pekerjaan. Sistem pendamping Bagaimana awam mengembangkan, dan membangun system pendamping atau keyakinan terhadap sesuatu, keadaan ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada kerumahtanggaan masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang kehidupan, dan semangat, cara mereka berkonsumsi, hingga dengan cara bagaimana berkomunikasi. Estetika Berbimbing dengan seni, dan kesenian, music, cerita, khayalan, hikayat, sandiwara, dan tari-dansa, yang bermain, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya punya poin estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami kerumahtanggaan segala peran, agar pesan nan akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan efektif. Misalkan di bilang wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning, dan buah-buahan, sebagai symbol nan kekuatan disetiap derah berlainan. Tetapi di kota segara seperti Jakarta jarang mungkin enggak terlihat masyarakatnya menggunakan pendirian tersebut. Bahasa Bahasa yakni perkakas pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, babak, dan Negara memiliki perbedaan nan tinggal komplek. Privat hobatan komunikasi bahasa merupakan onderdil komunikasi nan sulit dipahami. Bahasa n kepunyaan sidat unik, dan komplek, yang cuma dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Kaprikornus keunikan, dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami mudah-mudahan komunikasi makin baik, dan efektif dengan memperoleh nilai empati, dan simpati bermula orang tak. Baca Juga Artikel nan Mungkin Tersapu “Kemajemukan” Pengertian & Macam – Elemen Faktor-Faktor Nan Mempengaruhi Tamadun Bebera faktor yang mempengaruhi kebudayaan secara garis besar adalah a factor kitaran lingkungan kehidupan, geografis lingkungan factor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan suatu corak budaya sekelompok masyarakat; b faktor induk bangsa cak semau dua pandangan berbeda mengenai faktor induk nasion ini, adalah pandangan barat dan penglihatan timur. Pandangan barat berpendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kerubungan masyarakat mempunyai pengaru terhadap suatu rona kebudayaan. Berlandaskan pandangan barat lazimnya tingkat cauca soit dianggap lebih tinggi berpangkal pada nasion tidak,yaitu mingloid dan negroid. Sedangkan pandangan timur berpendapat bahwa peran ihnduk bukan sebagai factor yang lebih dulu lahir dan cukup janjang puas detik bangsa barat masih “ tidur privat kegelapan . hal itu lebih jelas ketika kerumahtanggaan abad xx, nasion jepang yang dapat diikatakan lebih rendah tinimbang bangsa barat dan c fakto ganti kontak antar bangsa. Aliansi antar nasion yang makin mudah akibat ki alat perhubungan yang bertambah sempurna menebabkan satu nasion mudah berhubungan dengan bangs lain. Akibat tinimbang adanya hubungan ini dapat alias lain satu bangsa mempertahankan jkebudayaanya tersampir plong tamadun asing mana nan kian langgeng maka kebudayaan asli dapat bertahan lebih kuat. Sebaliknya apabila kebudayaan zakiah lebih lemah tinimbang peradaban asing maka lenyaplah kultur aslidan terjadi budaya jajahan nan sifatnuya sintetis. Daftar Teks Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur 2003. Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya. Sulastomo 2003. Restorasi Antara Harapan dan Realita. Jakarta Penerbit Buku Kompas. Swasono, Meutia 1974. Generasi Muda Minangkabau di Jakarta Kebobrokan Identitas Sukubangsa. Skripsi Ilmuwan. Jakarta Fakultas Sastra UI. — 1999. “Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Distingtif Ika dalam Kerangka Persatuan dan Keesaan Bangsa”, referat pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei. — 2000a. “Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa”, makalah diajukan dalam Simposium dan Sanggar kerja Internasional dengan tema “Mengawali Abad ke-21 Menyongsong Otonomi Daerah, Mengidentifikasi Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa”, diselenggarakan maka dari itu Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-5 Agustus 2000. Swasono, 2003b. Kebebasan Bangsa, Tantangan Perlawanan dan Entre- preneurship Indonesia. Yogyakarta Universitas Janabadra. Tambunan, 2002. UUD 1945 Sudah lalu Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta Yayasan Kepada Bangsaku. Demikianlah pembahasan mengenai Peradaban – Signifikansi Menurut Para Ahli, Teori, Unsur, Tulang beragangan, Wujud, Komponen & Faktor sebaiknya dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kamu semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂

ahli kebudayaan bangsa bangsa timur